PERATURAN MENGENAI PENGADAAN BARANG DAN JASA
Implikasi diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.
25/PMK.05/2012 Tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Anggaran Berkenaan Yang
Dibebankan Pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun
Anggaran Berikutnya
February 4, 2013
Pemutusan Kontrak:
Pemutusan kontrak secara sepihak adalah dapat/mungkin
dilakukan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: (pasal 93 Perpres 70 tahun
2012 jo Perpres 54 Tahun 2010)
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila:
a. kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi
b
atas berakhirnya kontrak;
a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak
akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan
sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
a.2. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan
sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan;
b. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam
melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu
yang telah ditetapkan;
c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN,
kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh
instansi yang berwenang; dan/atau
d. pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN
dan/atau pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
(2) Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan
Penyedia Barang/Jasa:
a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
b. sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa
atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
d. Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.
Sementara dalam Permen PU No. 07 tahun 2011 diatur apabila
penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadual, maka PPK harus
memberikan peringatan secara tertulis terlebih dahulu atau dengan kata lain
penyedia barang/jasa akan dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis;
38.2 Kontrak
dinyatakan kritis apabila:
a. Dalam periode I (rencana fisik
pelaksanaan 0% – 70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih
besar 10% dari rencana;
b. Dalam periode II (rencana fisik
pelaksanaan 70% – 100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan
terlambat lebih besar 5% dari rencana.
Rencana fisik pelaksanaan 70% – 100% dari kontrak,
realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan
akan melampaui tahun anggaran berjalan.
38.3 Penanganan
kontrak kritis
a. Dalam hal keterlambatan pada pasal 38.1
dan penanganan kontrak kritis pada pasal 38.2 dilakukan dengan rapat
pembuktian (show cause meeting/SCM)
1) Pada saat kontrak dinyatakan
kritis direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan kepada penyedia dan
selanjutnya menyelenggarakan SCM.
2) Dalam SCM direksi pekerjaan,
direksi teknis dan penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik
yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba
pertama) yang dituangkan dalam berita acara SCM tingkat Tahap I
3) Apabila penyedia gagal pada uji
coba pertama, maka harus diselenggarakan SCM Tahap II yang membahas dan
menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam
periode waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam berita acara SCM
Tahap II
4) Apabila penyedia gagal pada uji
coba kedua, maka harus diselenggarakan SCM Tahap III yang membahas dan
menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam
periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam berita acara
SCM. Tahap III
5) Pada setiap uji coba yang
gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada penyedia atas
keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan.
Dalam hal keterlambatan pada pasal 38.2
c PPK setelah dilakukan rapat bersama atasan PPK sebelum
tahun anggaran berakhir dapat langsung memutuskan kontrak secara sepihak dengan
mengesampingkan pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[1].
Permen PU No. 7 Tahun 2011 tersebut menerangkan bahwa
terdapat langkah-langkah peringatan dari pengguna jasa/PPK kepada penyedia
barang/jasa dengan adanya indikasi/potensi keterlambatan pada paket
pekerjaan/kontraktual yang sedang berjalan.
Dengan banyaknya kasus terjadinya keterlambatan hingga akhir
tahun anggaran, pada awalnya Kementerian Keuangan mengeluarkan pedoman mengenai
pekerjaan yang dapat dilaksanakan sampai dengan 50 hari kalender pada Tahun
Anggaran 2011. Sempat terjadi perdebatan pada saat itu karena hal tersebut
dapat dianggap suatu dasar bagi kontraktor untuk mengulur-ngulur waktu
pengerjaan. Namun dalam perkembangannya ternyata keterlambatan adalah suatu
risiko yang mungkin saja terjadi terutama terhadap pekerjaan tahun tunggal yang
pelelangannya terlambat, dana APBN-P, dana Optimalisasi, atau yang waktu
pelaksanaannya memang panjang karena cukup rumit. Guna menghindari kekosongan
hukum apabila terjadi hal demikian, maka Kementerian Keuangan
mengeluarkan PMK nomor 25/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Tahun
Anggaran Berkenaan yang dibebankan pada DIPA Tahun Anggaran Berikutnya.
Hal mana kemudian dituangkan dalam Perpres 70 tahun 2012
pasal 93. PMK 25 tersebut mengatur apabila pekerjaan dari suatu Kontrak
yang sumber dananya telah dialokasikan dalam DIPA (pekerjaan single years) maka
sedapat mungkin diselesaikan pada Tahun Anggaran (TA) berkenaan, yaitu pada
tanggal 31 Desember, pekerjaan terkontrak haruslah sudah selesai dikerjakan
untuk kemudian diserahterimakan pekerjaan pertama (PHO).
Pada sisi lainnya, PMK 25/PMK.05/2012 juga
memperbolehkan apabila terjadi suatu keadaan yang mengakibatkan pekerjaan
single years tersebut tidak dapat diselesaikan sampai dengan akhir tahun yaitu
31 Desember, maka pekerjaan tersebut dapat/dimungkinkan untuk dilanjutkan pada
Tahun Anggaran berikutnya. Hal tersebut terkait dengan Perpres 70 tahun 2012,
pasal 93, yaitu pemberian kesempatan maksimal 50 hari kalender bagi penyedia
untuk melanjutkan pekerjaannya.
Meskipun PMK 25 ini menyebutkan akhir Tahun Anggaran 2011
dan awal Tahun Anggaran 2012, PMK 25 ini masih tetap berlaku dan tetap dapat
diberlakukan pada akhir Tahun Anggaran 2013 dan awal Tahun Anggaran 2013. Hal
mana hukum dianggap masih berlaku selama belum dicabut secara nyata oleh
peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi dan/atau
tidak bertentangan satu sama lainnya dengan peraturan yang lebih baru.
Sepengetahuan penulis, Kementerian Keuangan belum mengeluarkan PMK yang baru
menggantikan PMK 25/PMK.05/2012 tersebut. Juga ditambah fakta
dikeluarkannya Perdirjen37/Pb/2012 yang mendukung PMK25/PMK.05/2012tersebut.
Yang menjadi isu penting yaitu apakah rencana jadwal PHO itu
apabila terjadi keterlambatan, dan penyedia diberikan kesempatan sampai 50 hari
kalender, akan melewati tahun anggaran atau tidak.
Administrasi Keuangan terkait Perpanjangan Waktu
Penyelesaian Pekerjaan & Pemutusan Kontrak
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa jangka waktu
penyelesaian sisa pekerjaan pada Tahun Anggaran berikutnya, adalah paling lama
50 (lima puluh) hari kalender (harkal) terhitung sejak masa kontrak berakhir.
Jangka waktu 50 harkal tersebut mempunyai implikasi yang berbeda dalam hal
pelaksanaan pekerjaan yang terlambat, apakah akan melewati tahun anggaran
berkenaan atau tetap pada tahun anggaran yang sama. Hal tersebut menjadi
penting terkait teknis pencairan anggaran di KPPN.
1) Jadwal PHO + 50 harkal ≤ 17
Desember
Dalam hal jadwal PHO ditambah “jatah”/jangka waktu maksimal 50
harkal (kesempatan penyelesaian saat terjadi keterlambatan) jatuh pada tanggal
17 Desember tahun anggaran yang sama, maka KPA/PPK berdasarkan analisis yang
dibuatnya, dengan/tanpa pertimbangan Konsultan Supervisi dan/atau Tim Teknis
(bila ada) serta memperhatikan persentasi sisa pekerjaan yang belum
dilaksanakan, dapat memutuskan apakah kontrak tersebut masih dapat diberikan
kesempatan 50 harkal atau dihentikan/putus kontrak. Apabila KPA/PPK dalam
analisisnya masih akan memberikan kesempatan kepada penyedia barang/jasa 50
harkal, penyedia barang/jasa harus membayar denda keterlambatan semenjak jadwal
PHO berakhir sampai dengan selesainya pekerjaan.
Apabila KPA/PPK dalam analisisnya, penyedia barang/jasa atas
kesalahan si penyedia barang/jasa dianggap tidak akan mungkin melaksanakan sisa
pekerjaan yang belum selesai semenjak jadwal PHO berakhir meskipun diberikan
kesempatan 50 harkal, kontrak dihentikan/putus kontrak dan konseskuensinya:
Jaminan Pelaksanaan dicairkan, disetor ke kas negara;
sisa Uang Muka harus dilunasi oleh penyedia atau Jaminan
Uang Muka dicairkan disetor ke kas negara;
penyedia membayar denda keterlambatan; dan
penyedia barang/jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam (black
list)
Namun, dalam hal jadwal PHO ditambah “jatah”/jangka waktu
maksimal 50 hari kalender (kesempatan penyelesaian saat terjadi keterlambatan)
ternyata mencapai akhir tahun anggaran berkenaan/31 Desember atau bahkan dapat
melewati tahun anggaran berkenaan/31 Desember, maka KPA/PPK wajib
memperhitungkan rencana waktu penyelesaian pekerjaan, apakah penyelesaiannya
membutuhkan waktu sampai lewatnya tahun anggaran atau tidak.
2) Jadwal PHO + 50 harkal ≥ 18
Desember ≤ 31 Desember
Apabila pekerjaan dijadwalkan baru akan selesai antara
tanggal 18 Desember sampai dengan 31 Desember, maka KPA/PPK wajib menempuh
cara-cara sebagaimana diatur dalam peraturan pelaksanaan anggaran yang berlaku,
karena sudah memasui batas waktu tutup anggaran. Penyelesaian pekerjaan
tersebut akan dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) atau
Berita Acara PHO yang akan dilampirkan dalam penagihan SPM-LS. Dalam hal BAPP
baru dapat dibuat antara tanggal 18 Desember s.d. 31 Desember tersebut, dimana
pekerjaan sebenarnya belum selesai, KPA/PPK dapat mengajukan pencairan SPM-LS
untuk pembayaran kontrak ke KPPN [2] sebelum tanggal 18 Desember, dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
KPA/PPK membuat Surat Perjanjian Pembayaran dengan penyedia
barang/jasa sesuai format sebagai tercantum dalam Lampiran II Perdirjen PB
37/2012;
Penyedia barang/jasa membuat jaminan/garansi bank dan
menyerahkannya kepada KPA/PPK untuk kemudian KPA/PPK menyampaikan asli
jaminan/garansi pembayaran dari bank umum tersebut ke KPPN. Jaminan/garansi
bank tersebut masa berlakunya berakhir sampai dengan berakhirnya masa kontrak,
dengan nilai jaminan sekurang-kurangnya sebesar prosentase pekerjaan yang belum
diselesaikan, dan masa pengajuan klaim selama 30 (tiga puluh) hari kalender
sejak berakhirnya jaminan/garansi pembayaran bank tersebut;[3]
Jaminan/garansi bank sebagaimana dimaksud pada huruf b
diterbitkan oleh bank umum yang berlokasi dalam wilayah kerja KPPN bersangkutan
dan bersifat transferable sesuai format dalam Lampiran III Perdirjen PB
37/2012;
Surat pernyataan dari PA/KPA mengenai keabsahan
jaminan/garansi bank dengan pernyataan bahwa apabila jaminan/garansi bank
tersebut palsu dan/atau asli tapi palsu dan/atau tidak dapat dicairkan dalam
hal terjadi wanprestasi, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi PA/KPA,
sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Perdirjen PB 37/2012;
Asli surat kuasa (bermaterai cukup) kepada Kepala KPPN untuk
mencairkan jaminan bank sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
Perdirjen PB PB 37/2012;
Untuk pekerjaan dengan nilai kontrak dan/atau nilai
prosentase pekerjaan yang belum diselesaikan jumlahnya ≤ Rp. 50 juta (lima
puluh juta rupiah), jaminan/garansi bank tersebut dapat diganti dengan Surat
Pernyataan Tanggung Jawa Mutlak (SPTJM) sebagai Penjaminan dari KPA sesuai
format dalam Lampiran VI Perdirjen PB PB 37/2012;
Surat Pernyataan Kesanggupan untuk menyelesaikan pekerjaan
100% sampai dengan berakhirnya masa kontrak dari Pihak Ketiga/Rekanan sesuai
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Perdirjen PB PB 37/2012.
KPA wajib menyampaikan BAPP tersebut kepada Kepala KPPN
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah masa kontrak berakhir.
Dalam hal pelaksanaan pekerjaan tidak juga dapat selesai
sampai dengan berakhirnya masa kontrak, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
KPA/PPK, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah masa
kontrak berakhir, wajib memberitahukan sevara tertulis kepada penyedia
barang/jasa terkait bahwa penyedia barang/jasa terkait telah wanprestasi, dan
menyampaikan surat pernyataan tersebut (ditembuskan) kepada Kepala KPPN mitra
kerjanya;
Berdasarkan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a di atas, KPA/PPK membuat pernyataan tertulis bahwa penyedia barang/jasa
terkait telah melakukan wanprestasi dan menyampaikannya kepada Kepala KPPN
mitra kerjanya paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah masa kontrak berakhir;
Penyampaian surat tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b
di atas, dilengkapi dengan BAPP dan Berita Acara Pembayaran (BAP) terakhir,
paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak masa kontrak berakhir.
Kepala KPPN pada hari kerja berikutnya setelah menerima
surat pernyataan KPA/PPK sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas, mengajukan
klaim pencairan jaminan/garansi bank ke kas negara sebesar persentase sisa
pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan.
3) Jadwal PHO + 50 harkal ≥ 31
Desember
Dalam hal pelaksanaan pekerjaan tidak juga dapat selesai
sampai dengan berakhirnya masa kontrak, namun penyelesaian pekerjaan tetap akan
dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya, maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
Pelaksanaan penyelesaian pekerjaan akan dilanjutkan pada
tahun anggaran berikutnya dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur
mengenai pelaksanaan sisa pekerjaan tahun anggaran berkenaan yang dibebankan
pada DIPA tahun anggaran berikutnya[4];
KPA/PPK membuat addendum kontrak untuk mencantumkan
anggaran/sumber dana dari DIPA tahun anggaran berikutnya atas sisa pekerjaan
yang akan diselesaikan
KPA/PPK menyampaikan pemberitahuan kepada KPPN atas
pekerjaan yang akan dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya yang dilampiri
dengan copy Surat Pernyataan Kesanggupan Penyelesaian Pekerjaan[5] yang dibuat oleh penyedia barang/jasa yang telah
dilegalisasi, dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak masa kontrak
berakhir. Surat Pernyataan Kesanggupan Penyelesaian Pekerjaan tersebut dibuat
& ditandatangani di atas materai cukup oleh Pimpinan penyedia barang/jasa
yang ditujukan kepada KPA/PPK;
Setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b di atas, Kepala KPPN pada hari kerja berikutnya mengajukan klaim pencairan
jaminan/garansi bank (jaminan pembayaran) ke kas negara sebesar persentase
pekerjaan yang belum diselesaikan sampai dengan tanggal 31 Desember.
Apabila ternyata jangka waktu/masa berlaku jaminan/garansi
bank (jaminan pembayaran) sudah berakhir sebelum 31 Desember, maka penyedia
barang/jasa wajib menyetorkan sejumlah uang ke kas negara sebesar nilai sisa
pekerjaan yang belum dilaksanakan sebagai pengganti jaminan/garansi bank
(jaminan pembayaran tersebut);
Penyedia barang/jasa menyampaikan jaminan pelaksanaan
sebesar 5% dari nilai sisa pekerjaan yang akan diselesaikan kepada KPA/PPK.
Penerapan Tanggung Jawab Mutlak KPA/PPK
Lebih lanjut, dalam hal bank penerbit jaminan tidak bersedia
mencairkan jaminan/garansi bank sebagaimana dimaksud dalam penjelasan di atas,
maka KPA/PPK wajib mengembalikan uang jaminan bank tersebut dan menyetorkannya
ke kas negara.
Dalam hal bank tidak bersedia mencairkan jaminan/garansi
bank tersebut di atas untuk tahun-tahun berikutnya, maka KPPN tidak lagi
diperkenankan menerima penjaminan/garansi atau segala bentuk penjaminan dari
bank yang bersangkutan.[6]
Kesimpulan
a) Untuk kasus ekstrem apabila
jangka waktu pelaksanaan yang tertuang dalam kontrak (jadwal waktu PHO) adalah
pada 31 Desember (diujung tahun anggaran, bahkan sudah pasti melewati tutup
anggaran) dan pekerjaan belum selesai pada 31 Desember itu, maka waktu maksimal
yang tersedia menurut PMK ini adalah 50 hari kalender sejak masa berakhirnya
kontrak 31 Desember tersebut, yaitu pada 19 Februari.
Waktu maksimal yang disediakan oleh peraturan
perundang-undangan adalah sampai 19 Februari, apabila dapat selesai sebelum
tanggal atau tepat pada 19 Februari maka kontrak “aman”. Akan tetapi apabila
setelah 19 Februari, sisa pekerjaan tersebut belum juga dapat diselesaikan,
maka pekerjaan tersebut dihentikan ditambah penyedia barang/jasa dikenai denda
maksimum keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa serta dikenai daftar hotam
(black list) sehingga tidak dapat mengikuti pelelangan barang/jasa pemerintah
selama 2 (dua) tahun semenjak diberlakukannya daftar hitam.[7]
b) Dalam hal penyedia
barang/jasa terlambat/tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, selain
dapat diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan, pengguna jasa/PPK
dapat menangguhkan pembayaran setiap angsuran prestasi pekerjaan jika penyedia
gagal atau lalai memenuhi kewajiban kontraktualnya, termasuk penyerahan setiap
Hasil Pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. PPK dapat
mempertimbangkan dengan kebijaksanaan/analisis pertimbangannya, untuk secara
bersamaan memberikan denda keterlambatan per hari keterlambatan dan juga
memberikan penangguhan pembayaran setiap angsuran prestasi pekerjaan, atau PPK
dapat mempertimbangkan untuk hanya memberikan denda keterlambatan saja tanpa
menangguhkan pembayaran setiap angsuran prestasi pekerjaan.[8]
Dalam hal PPK berpendapat bahwa perlu dikenakan sekaligus
bersamaan denda keterlambatan dan penangguhan pembayaran, maka PPK secara
tertulis memberitahukan kepada penyedia tentang penangguhan hak pembayaran,
disertai alasan-alasan yang jelas mengenai penangguhan tersebut. Pembayaran
yang ditangguhkan harus disesuaikan dengan proporsi kegagalan atau kelalaian
penyedia.
Jaminan pembayaran menjadi penting apabila rencana/jadwal
PHO adalah pada tanggal 18 Desember sampai dengan 31 Desember. Terutama apabila
terjadi keterlambatan yang mengakibatkan pekerjaan harus dilanjutkan pada tahun
anggaran berikutnya.
Jaminan ini juga menjadi perhatian penting karena adanya
klausula jaminan harus diterbitkan oleh bank partner KPPN setempat, KPPN mitra
Satuan Kerja.
[1] Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
persetujuan yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalannya harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus
dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya perjanjian
dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dimintakan dalam
perjanjian, Hakim leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan si tergugat
memberikan jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu
mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan
yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam
hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalannya harus
dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat
batal mengenai tidak dipenuhinya perjanjian dinyatakan dalam perjanjian. Jika
syarat batal tidak dimintakan dalam perjanjian, Hakim adalah leluasa untuk
menurut keadaan atas permintaan si tergugat memberikan jangka waktu untuk masih
juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu
bulan. Kelemahannya yaitu diperlukannya gugatan terhadap wanprestasi atau
ingkar janji. Jadi, mengenyampingkan pasal ini, dan mencantumkan di
perjanjian/kontrak sangatlah penting.
[2] Berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.
37/PB/2012 tentang Langkah-Langkah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2012,
pasal 18
[3] Yang dimaksud jaminan/garansi bank dalam huruf b ini
yaitu jaminan pembayaran.
[4] Diatur oleh PMK nomor 25/PMK.05/2012 tentang
Pelaksanaan Sisa Tahun Anggaran Berkenaan yang dibebankan pada DIPA Tahun Anggaran
Berikutnya
[5] Surat Pernyataan yang dibuat penyedia barang/jasa ini
paling sedikit memuat:
a) Pernyataan
kesanggupan menyelelesaikan pekerjaan
b) Waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan sisa pekerjaan
c) Pernyataan bersedia
dikenakan denda keterlambatan selama penyelesaian sisa pekerjaan
[6] Berdasarkan Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.
37/PB/2012 tentang Langkah-Langkah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2012,
pasal 19
[7] Dalam Permen PU 07/2011, diatur besarnya denda yang
dikenakan kepada penyedia atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan untuk setiap
hari keterlambatan adalah:
1) 1/1000 (satu perseribu) dari sisa
harga bagian kontrak yang belum dikerjakan(sebelum PPN), apabila bagian
pekerjaan yang sudah dilaksanakan dapat berfungsi; atau
2) 1/1000 (satu perseribu) dari harga
kontrak (sebelum PPN), apabila bagian pekerjaan yang sudah
dilaksanakan belum berfungsi;
Pemutusan Kontrak melalui pemberitahuan tertulis dapat dilakukan
apabila diantaranya denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan
penyedia sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai Kontrak dan PPK
menilai bahwa Penyedia tidak akan sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan.